Novel Anak Semua Bangsa (doc.pribadi) |
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun : 2006
Tebal : 536
Anak Semua Bangsa
adalah novel yang menjadi “anak kedua” Tetralogi Buru, racikan seorang eks-Lekra yang hangat dikenal dengan
sebutan Pram. Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer sudah sepantasnya
dijadikan Sumbangan Indonesia untuk Dunia;
seperti yang tercantumkan di sampul belakang novel ini. .Adapun sebagai sebuah roman sejarah-fiksi, kisah yang disajikan
bercita rasa seperti Nano-Nano; asam
manis plus menyayat hati. Kenapa harus
–bercita rasa, seperti- asam manis yang menyayat hati?
Pertama, karena sisi perbandingan dengan kisah yang
dihadirkan “anak pertama” Pram. Dari Bumi Manusia yang mengisahkan akselerasi seorang terpelajar untuk
mengenal dirinya sendiri dan berhubungan dengan sisi kemanusiaan yang
sepantasnya tercermin dari pribadi seorang anak manusia. Jalinan benang merah
yang tersambung memang tidak dapat dilepaskan begitu saja, walaupun secara
konseptual, Anak Semua Bangsa masih sanggup berdiri sendiri tanpa bayang-bayang
“anak pertama”. Hal tersebut dapat tersimpulkan dari pola penceritaan khas Pram
yang mampu menciptakan kemandirian dalam Anak Semua Bangsa. Meskipun dengan
gaya bahasa bebas dan mandiri dari masa kelahiran novel ini.
Di awal novel ini, Pram menjamu pembaca dengan kisah yang menguras
emosi pribadi. Tokoh Minke yang sukses mendaur ulang surat-surat dari Jan
Dapperste alias Panji Darman. Dia ditugaskan oleh Nyai Ontosoroh untuk mengawal
dan mengabarkan kondisi Annelis –istri Minke- yang dibawa dengan paksa atas
tuntutan wali asuh yang hanya terhubungan karena tali kekeluargaan di mata
hukum.
Alasan kedua, karena roman sejarah-fiksi ini menjelaskan sisi
lain sebagai tandingan romantika Minke, yaitu kontribusi kemampuan dan kemauan
menulis untuk bangsanya, untuk kemajuan Pribumi. Tentunya, siapa yang tidak
akan dibuat kagum dengan karakter seorang Nyai yang mampu memberikan
perlindungan bahkan pengetahuan lebih mendalam bagi menatunya yang tamatan H.B.S;
sekolah bergengsi pada masa kolonial. Seperti dalam satu paragraf dijelaskan, “Seluruh dunia kekuasaan memuji-muji yang
kolonial. Yang tidak kolonial dianggap tak punya hak hidup, termasuk mamamu
ini. Berjuta-juta ummat manusia menderitakan tingkahnya dengan diam-diam
seperti batu kali yang itu juga. Kau , Nak, paling sedikit harus bisa
berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau
menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin. Akan abadi, sampai jauh, jauh di
kemudian hari. Dan kolonial itu, kan itu persyaratan dari bangsa pemenang pada
bangsa yang dikalahkan untuk menghidupinya?”.
Selanjutnya penceritaan paralel tentang penggodokan pola
pikir dan kedewasaan seorang terpelajar -seperti Minke- yang mendapat teror
tentang kekagumannya kepada Eropa, terlebih Revolusi Prancis. Kekagumannya kepada
Eropa menjadiakan sosok Minke seperti kehilangan jiwa kemanusiaan dan harga
dirinya sebagai anak kelahiran bangsa yang dijadikan tempatnya berhidup dan menghisap
kenikmatan Hindia. Status pribumi yang disandangnya seakan menjadi dilema
dikala pencitraan sebagai kaum terpelajar yang hanya mengagumkan ilmu pengetahuan
milik Eropa.
Bak kisah
hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bobroknya birokrasi yang telah
sejak dahulunya, kembali tersaji dan menjadikan suhu pembentukan kultur dan
karakter pribumi yang terdistorsi. Apa mau dikata, semua terjelaskan dengan
begitu gamblang, seperti apanya apa
yang terjadi dalam kaca mata Pram pada masa itu. Alur kisah yang mengalir menjadi
kenang-kenangan hidup bagi Minke yang mulai disadarkan tentang yang didapatkannya
dari bangku sekolah H.B.S menuju realitas ilmu dan pengetahuan yang tidak
sampai diketahuainya. Yang tercetus dalam paragraf, “Dan untuk kesekian kalinya terpikir olehku: lulus H.B.S ternyata hanya
makin membikin orang tahu tentang ketidaktahuan sendiri. “Sekolahmu itu belum
lagi apa-apa...”.
Pembaca selanjutnya dijamu dengan penggalan kisah, Khoe Ah
Su, seorang aktivis Angkatan Muda Cina yang sedang mengampanyekan nasionalisme
di Hindia. Marten Nijman, redaktur SN v/d D yang mengecewakan Minke karena
tulisannya diplintir untuk menjebak Khoe Ah Su. Hal yang tersadarkan oleh Minke itu, tentu saja menjadi
realitas yang membuatnya kaget. Nyai Ontosoroh secara bijak menerangkan bahwa watak
Eropa tak akan berubah; licik, penipu, jahat. Eropa yang unggul di ilmu dan
ekonomi tapi cacat moral. Tentang kecacatan hukum dan pengadilan yang selalu menjadi
kepentingan Kolonial, bukan kepentingan Pribumi. Dikisahkan tentang kejamnya
administratur pabrik gula di Sidoarjo, bernama Plikemboh. Pram juga mengisahkan
pertemaun Minke dengan Trunodongso dan sekelumit penderitaan kaum tani yang
sedang diteror untuk memberikan tanahnya kepada pabrik gula. Kemudian dengan
kisah pengalaman Minke yang terus mengalir sampai mendapatkan pengaruh
liberalisme yang juga termaktub dalan novel ini, melalui kisah pertemuan Minke
dengan Ter Haar, seorang jurnalis Belanda yang memaparkan semua kebusukan
kolonial.
Seperti dijelaskan di awal, keseluruahn novel Anak Semua
Bangsa sejatinya tidak hanya mengisahkan tentang romantika seorang Minke. Seorang
yang terpelajar dalam menjalani kehidupan menulisnya agar mampu berakselerasi
untuk menulis Melayu dan membangun citra Pribumi. Namun, dikisahkan juga babak
keinsyafan Robet Mallema yang merintih ampun kepada Nyai Ontosoroh yang
semulanya tak pernah diakuinya sebagai ibu. Robert Mallema harus berakhir
dengan kematian yang akibat penyakit penanggungan dosa-dosa masa lalunya. Kabar
kematian yang tidak pernah menjadi berita yang diinginkan seolah menjadi berita
penawar dan ketentraman semantara atas nasib Boerderij Buitenzorg
yang dibangun Herman Mallema bersama Nyai Ontosoroh sebagai istri tidak sah. Hasil
korespondensi permohonan maaf Robert Mallema yang dikirim ke Wonokromo
dijadikan saksi atas penjabaran kesalahannya di masa lalu, hingga pengakuannya yang
mewariskan tokoh baru, hasil hubungan gelapnya bersama si pembantu genit yang
bernama Minem. Tokoh baru yang berindikasi bisu tersebut dijadikan kartu joker oleh
Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan Boerderij Buitenzorg yang akan
segera dirampas oleh ahli waris sah secara hukum dari keluarga Mallema. Meskipun
sebelumnya ia telah kalah di depan hukum Eropa, Nyai Ontosoroh tetap melakukan
perlawanan dengan kartu joker terakhirnya, yaitu berjuang dengan mulut. Sampai di
akhir kisah, Pram menutup kisah “anak keduanya” dengan apik, selayaknya tersaji
dengan cita rasa melegakan tenggorokan.
#OMOB (One Month One Book)
#FLP_SU
28122014
#FLP_SU
28122014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar