Terimakasih Ya Allah, alamMu
ini sungguh indah, semoga bisa saya kunjungi lagi tempat-tempat lainnya lain
yang juga seindah pulau Berhala ini. Amiin. (Doa saya ketika bermesra dengan
angin yang syahdu)
Saya masih tak menyangka bisa mengunjungi pulau Berhala. Tentu saja
bukan sebuah prestasi -hanya seperti loncatan kemampuan saja- atau bisa saya sebut
kemajuan dari "rasa berani" yang saya miliki. Dan juga bukan berarti selama ini
saya tidak berani untuk pergi agak jauh dari rumah. Memang rejekinya saya –mungkin-
sebagai satu-satunya anak perempuan Ayah (paling bontot pula). Agar bisa mendapatkan izin keluar,
sekedar jalan-jalan memanjangkan kaki -apalagi- hanya untuk berlibur bersama orang-orang yang
tidak pernah saya kenal rasanya seperti mustahil. Dan yang terjadi? -Seharusnya-
memang pantas saya menghitung resikonya, tapi setelah hari itu terjadi saya merasa
lebih pantas untuk menghitung pembelajaran yang saya dapatkan dan tentunya
pengalaman. Ayah mungkin tidak akan percaya dengan impian-impian anak
perempuannya setelah ini atau mungkin juga Ayah akan tetap sulit melepaskan
izin untuk impian-impian anak perempuannya –yang konon sudah bermimpi menjejakkan
kaki di titik teringgi pulau Jawa-. Namun kepastiannya, saya akan mewujudkan
impian-impian saya yang terselubung agar tetap konsisten dengan restu Orangtua, dari Ayah. Sebenarnya saya sedang merindukan Ayah.
Saat memikirkan Ayah, saya sedang ngaso di pondok yang ada di atas pohon. Dan dari atas pohon saya melihat teman-teman lainnya sudah turun ke air. Iya,
mereka sudah berbasah-basah dengan riangnya. Perasaan saya pun tergugah untuk
segera turun ke air, tapi masih ragu-ragu saja. Saya masih terlalu banyak
berpikir tentang segala halnya. Begitulah resikonya, kalau sudah bertemu air memang
harus basah, kan? Tapi... tentang bagaimana ini.. bagaimana itu.. masih tetap
menjadi pertimbangan saya.
“Nisa mau kemana?” tanya saya
kepada Nisa yang sedari tadi memang berada di atas pohon bersama saya.
“turunlah yok. Kita snorkling”
“Ohh iya yaa, snorkilng itu
pasti asyik banget. Iya deh, nanti aja” jawab saya sekedar. Dan
Nisa pun turun ke air juga
bersama teman-teman lainnya. Mungkin tidak kesemuanya, saya masih
memperhatikan semua
peserta. Saya memposisikan diri sebagai orang yang tidak menjahui
“kesosialan”.
Bagaimana pun juga sekitar 2 x 24 jam lagi kami akan bersama di pulau
terluar RI. Saya hanya berpikir tidak ingin terasingkan atau menjadi
asing. Yuli, Ayu
dan teman laki-lakinya memilih menggelar sesi pemotretan khusus di
sekitaran
pulau Sokong Nenek. Nanda, Nisa dan juga keenam teman lainnya (gak ingat
nama
mereka) sudah turun ke air.
Panggilan aroma dari santapan siang sudah memanggil-manggil. Memang sudah waktunya makan siang, pikir saya. Saya yakinkan diri dengan melihat jam (saya berusaha menghindari mempertanyakan jam dengan alasan saya tidak ingin memikirkan lamanya waktu yang saya habisakan di pulau ini) tapi tetap saja, kebutuhan dengan waktu sholat harus wajib dilaksanakan. All time, on time. Saya bergegas dan mendirikan sholat, sekalian saya jamak dengan waktu ashar. Setelah sholat, saya berkumpul kembali bersama kak Winda, Kak Mayda, Bang Andre dan Bang Aris yang sudah mengeliling meja kayu yang menghidangkan santapan siang kami. Ada gulai daun ubi, sambal ayam, dan sambal oseng teri tempe. Menggiurkan. Kami makan dengan lahapnya, bahkan saya tamboh (haha) memang keterlaluan osengan teri tempe Kak Yun Cay yang sangat memikat lidah. Begitu juga teman lainnya yang sudah datang merapat untuk menikmati santap siang.
“Kak Winda nanti turun ke air
kak? Kakak, snorkling juga kah?" tanya saya.
..Iyala dek, siap makan
langsung hajar ke air
“Kalau bang Andre, juga?" tanya saya
sambil menoleh.
“Hmm, rencananya juga gitu.
Jawab bang Andre.
(Halamakk.. gimana ya aku ini)
“Kapan lagi Dek snorkling,
selagi di pulau Berhala loo, asyik tuh snorkling disana.” Rekomendasi dari bang
Ari.
“Iye, masa udah di sini gak
snorkling, selagi di pulau Berhala, ya dijajal semua keasyikannya, nanti nyesal
lo, teringat-ingat terus.. nyesall. Haha” tambah si Nanda.
Sebenarnya saya juga sudah
mempersiapkan mental untuk pilihan turun ke air atau lebih tepatnya
berhubungan dengan air-airan. Saya sudah menyewa pelampung sebagai jaminannya. Saya pernah kapok berurusan dengan air. Sewaktu
perpisahan sezaman saya masih SMA, saya hampir saja tenggelam di sungai Bukit Lawang. Waktu itu kami seperti rafting, menggunakan ban yang
berukuran agak besar sebagai peralatannya. Syukur Alhamdulillah, saya selamat, ada yang menolong dan sadar kalau saya
sudah gagap di dalam air. Perut saya sampai kembung menelan air. Itu 4 tahun
yang lalu, dan saat itu lokasinya di sungai. Saat ini kan saya sedang di pulau,
dan ini air laut. Saya gak mungkin lupa, kalau air laut itu ternyata asin
banget (haha) sudah saya buktikan karena mungkin saja hampir 5 liter air laut
di pulau berhala yang sudah saya minum dengan sangat tidak sengaja dan terpaksa.
Sudah saya tepis ragu-ragu
untuk turun ke air. Dengan pakaian lengkap “anti badai” dan ditambah pelampung,
saya sudah berhasil nyungsep ke air.
Meskipun masih terus ngapung –ya
karena masih pakai pelampung. Teman-teman lainnya sudah menjajal pose
masing-masing dengan kamera underwater bang Ari. Saya tentunya tidak mau ketinggalan.
Setelah bernego untuk melepaskan pelampung dan meminta bantuan kak Winda agar
terus mengawasi kondisi saya selama pemotretan di dalam air.
Setelah percobaaan beberapa
kali dengan usaha gigih ingin berpose dalam air yang tak kunjung berhasil,
akhirnya....
I'am ..... :D |
Yes, saya biaa membuktikan pada diri sendiri, bahwa saya masih cocok berada di air. Walaupun saya gak bisa memastikan kondisi saya selama main-main di air. Selain karena perut yang agak mulas dan mata yang pedih dengan keasinan air. Belum juga pikiran, ahh.. bagaimana dengan konsidi saya saat ini **. Sebisanya, dengan menggunakan pelampung, saya nikmati pengalaman “air-airan” di Pulau Berhala. Saya tetap berusaha tersenyum, dengan posisi tubuh yang mengapung memandang langit yang membiru cerah. Membathin dengan suara lirih “Terimakasih Ya Allah. Ampuni Adek selama ini, kalau memang Adek berdosa. Bukankah, laut ini, karunia dari alamMu juga. Lindungilah kami selalu.
keliling pulau Berhala pakai perahu karet |
kondisi tangga menuju menara mercusuar |
“Ah masa iya? Serius?” tanya saya. Dan dia menjawab “entah juga sih. Aye belum pernah kesana. HaaaElakh.
walau ngos-ngosan tetap narsisss :D |
di depan menara Mercusuar Pulau Berhala |
Ternyata tujuan tracking ke menara
mercusuar bukan tanpa rencana apa-apa. Melainkan dengan alasan, kami akan
dihadiahkan pemandangan sunset.
masih menunggumu, sunset :D |
Sunsetnya Oke :D |
Yihaaaaaa.. teriak saya dalam
hati dengan senyuman dan mata yang membelalak.
Asyik asikk.
Asyik asikk.
Sungguh, inilah sunset terindah
yang pernah saya lihat dengan mata sendiri, di pulau Berhala (pula). Suguhan dari
Sang Pencipta Seluruh Alam memang tak tertanggungkan. MasyaAllah. Dari bentuk sang
matahari yang masih utuh di atas permukaan air sampai separuh menghilang dan
benar-benar menghilang menuju belahan bumi lainnya. MasyaAllah, keterlaluan indahnya,
pun dengan kemilaunya. Beruntung saya dapat mengabadikannya. Bersama
teman-teman lainya yang juga mengantre untuk berpose bersama Si Sunset.
Sunset Terakhir, one:) |
Sesampainya di mess, terhidang pisang dan ubi goreng. Ya oma ya oma.. perut Adek memang lafarrr. Setalah icip satu dua tiga porsi ubi goreng, saya bersegera membersihkan badan yang sudah lengket karena keringat, juga air asin serta sisa-sisa pasir yang masih menempel di badan. Setelah itu sholat magrib dan juga menjamaknya dengan solat isya. Kemudian juga setoran tilawah.
Diluar, ternyata teman-teman lainnya sudah berkumpul dengan wajah-wajah yang segar –meski sudah menghajar 2 x 1000 anak tangga pada sore tadi-. Semuanya keren. Juga api unggun yang sudah menyala dengan maraknya. Semuanya masih menunggu selesainya sesi bakar-bakaran ayam dan ikan yang akan disajikan. Kak Yun Cay, Bang Aries dan Murni bertugas menjadi pengipas dan penjaga bara api. Kami para peserta hanya anteng, ada yang cerita-cerita, ada yang melihat hasil huntingan kamera. Saya? Gak ngapa-ngapain, bengong aja, mandang-mandang langit yang malam itu masih memamerkan cahaya bulan penuh yang memesona. Sangat memesona.
Selesainya bakar-bakaran ayam dan ikan, kami pun menikmatinya dengan lebih lahap. Selesai makan? Apalagi yang harus dilakukan? Datanglah -faktor X- yang mempengaruhi. Mengantuk? Iye. Meskipun ini tak biasanya terjadi, perkiraan saya waktu masih menunjukkan pukul 9 malam, tapi mata saya sudah berkapasitas 5 watt saja. Gak pakai kompromi, saya segera mengundurkan diri dari kebersamaan. Ayu dan Yuli juga. Sedangkan teman-teman lainnya mungkin menikmati malam dengan game tebak lagu –yang masih terdengar dari kamar Mess. Ahh, sungguh saya mengantuk. Bukankah, besok akan ada hari yang lebih melelahkan? dan bukankah besok adalah hari terakhir di pulau Berhala ini? ya, semoga besok lebih menyenangkan ~~
**bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar