Sepiring nasi goreng dan teh
hangat sudah tamat riwayatnya. Bulir-bulir air masih jatuh malu-malu, berkeliaran
disekitar kami. Satu jam yang lalu, hujan turun dengan bersemangat. Kami masih
setia berteduh di warung makan dadakan di pinggir jalan.
Tadinya aku melihat pasangan yang
agak kontroversi. Mereka terlihat seperti papi-mamian. Aku tak mengerti pasangan
seperti itu bertindak dengan "label sah" atau akal-akalan saja. Pasangan itu terlihat berwajah muda. Juga terlihat cincin keemasan yang
melingkari jemari manis si perempuan. Meski aku tak begitu yakin, cincin
itu sekilas juga terlihat sebagai aksesoris saja.
Sekitar 30 menit yang lalu. Aku
melihat si -yang disebut- Papi itu memberikan bunga kepada si -yang disebut-
Mami.
Oh. Celakanya aku. Entah apa gerangannya
hingga aku harus terusik dan mendengar dialog mereka. Mereka duduk disebelah kursiku,
sedangkan jaraknya tak lebih dari sejangkauan tangan jika aku harus usil
meminta saos atau kecap yang ada di meja mereka. Bukan salahku sepenuhnya, kan?
Terdesir kalimat pujian yang kurang
lebih berlafaskan, "Makasih ya, Pi, romantis banget sih, bla.. bla.. bla..."
Selanjutnya aku malas melanjutkan pendengaranku tadi, sesungguhnya aku tak
tahan kebanyakan menelan ludah, mengaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sama
sekali. Mau muntah saja rasanya.
Sementara Ce yang sedari tadi
membersamaiku masih duduk termenung. Aku yakin dia juga memperhatikan, dia
seenaknya berceletuk, "Andai bunga itu disertakan cokelat dan
sebaris-baris puisi. Duh.. Kurebut itu semuanya." Tentu saja serangan mendadak itu membuat mataku terpaksa membelalak.
"Ceria, serius?"
"Gak usah serius-serius kali
lah, Yik. Toh selera orang wajar
berbeda. Menurutku itu keren." Jawabnya masih dengan termenung.
"Oh. Iya Ce, bisa jadi itu keren
tapi egak terlalu keren pastinya." Kulihat dia menggelengkan kepalanya, "Ce please deh
kemana dirimu yang pernah kukenal. Apa perlu kuberikan cermin untuk
mengoreksi jiwamu yang mulai sakit malam ini." kubalas sambil memanyunkan
bibir. Kemudian kusentuh keningnya dan kurujuk ekspresi selayaknya seorang dokter.
Dia membalas ekspresiku. Melihatku
dalam-dalam. Seolah merasa bersalah dan berusaha mempertimbangkan celetukannya. Dia menebus ekspresiku, seolah berkata: “begitu parahkah?"
"Aku gak tahu sepastinya Ce, menurutku sesi romantis versimu itu tidak
menyenangkan sama sekali. Menurutku akan lebih keren dan asyik kalau bunga itu
diberikan di suatu tempat yang lebih spesial. Di gunung, misalnya?" ujarku
sambil meliriknya.
"Tapi, Yik, tuh lihat, mereka melakukan sesi keromantisan
saat beginian loh. Ya, walaupun di pinggiran
jalan begini, di warung Mak Etik pulak." Agak ragu dia melanjutkan, "Hm, memang kelihatan gak niatnya, sih!”
Kulihat dia menahan sehela nafasnya dan menghembusnya perlahan. “Ce, kau terjebak nostalgia, ya?" Aku mulai khawatir lagi dengannya, "Tenang aja Ce, opsi coklatnya gak salah kok untuk dipertimbangkan." Cericauku sambil ber-haha-haha.
Dorr!
Ceria menundukkan kepalanya. Meringis kengerian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar