Saya
meyakini sebuah pemikiran bahwa semua hal terlalu pantas untuk kita ketahui. Karena
godaan menjadi orang kepo itu terkadang terlalu menggiurkan.
Demi apa pun
(Miyapah? Masih zaman gak kosa-kata itu :P)
Salah
satunya yang perlu kita dipelajari adalah tentang satu pernyataan yang sering
kita lantunkan “kok bisa ya, dia begitu?"
hayoo ngaku... siapa hayooo yang
pernah “ngiri” begitu?
(((*ngacung diri sendiri*)))
Sebagai
manusia biasa yang berprilaku standar, berkemampuan dibawah rata-rata,
bertampang diambang kengerian serta sering bertindak sebatas mata kaki dan pinggiran tepi garis yang mengunci. Fiuuuh!
Apa yang hendak saya lakukan?
Bahkan
pertanyaan bodoh seperti itu sering saya lontarkan pada cermin –bahkan
gelas-gelas kaca.
Atau setingkat kesadaran yang lebih mahsyur, kupertanyakan
diri sendiri: “Apa yang sudah kau lakukan, Yik?! (pakai tanda seru, ya, karena
pertanyaan itu membuat kesal).
Sulit. Lumayan sulit sekali menjawabnya. Karena untuk menjawab
kebenaran selalu dibayangi oleh pembenaran yang membosankan. (alasan) Agrrrh!
(sebenarnya mau
mengehentikan tulisan ini, tapi karena intinya aja belum dapat. Yaudahla lanjut
lagi...)
*tarik nafas*
*tarik nafas*
Siapa yang
percaya tentang satu, dua hal atau banyak kemungkinan yang dapat kita rasakan
saat meluangkan rehat waktu untuk bertanya kepada diri sendiri? Menyusuri
pedalaman hati dan ruang-ruang sempit didalam kepala. Adakah susuatu yang
tersisa atau bahkan tersimpan, selain kenangan-kenangan tentang masa lalu..
ohh
masa lalu? hanyalah masa lalu *keplak meja!*
Saat ini, di
dekatku ada buku-buku yang sengaja saja kuserakkan di sekitaran
tempat tidur. Kondisinya agak tragis. Sampai tak jarang buku-buku itu terpaksa
harus terlipat atau terciprat entah apapun.
Sudah resiko karena memang itulah
inginku. Membiarkan buku itu berdekatan langsung denganku agar aku segara
membacanya sampai tuntas.
Toh, hampir sama seperti CINTA yang kan datang karena terbiasa. Terbiasa berdekatan dan selalu bersama. *halah-
bawa kata cinte pulak * plak!
Emang udah
penyakit hampir jadi penyakit bagiku: kalau baca buku suka pehape, baru 10 lembar udah off. Baru baca
kata pengantarnya udah ngantuk. Lanjut baca testimoni dan embel-embel yang
menggembel eh udah ketiduran. Kalau kebangun, baca lagi. Kalau enggak kebangun
ya.. mohon doanya ajalah *supaya jadi istri solehah* halahhh :P
(Sudah
semakin ngawur saja tulisan ini. Entah apa intinya, ya kan woi?) Haha
Entah apa
pasalnya, saya berkeinginan bersahabat kembali
dengan Gie. Mengingat-ingat memori saat menjadi mahasiswa. Oh iye. Tahukan si Gie? Ituloh china pribumi yang
namanya tenar seantero angkatan muda dan mantan angkatan muda yang tetap muda.
Syukur deh, kalau
sudah tahu—karena ada sambel juga loh- yang gak tahu siapa si Gie (pasti tu orang
seringnya main pees aja di rental dekat rumahnya, ngeplakin kepala anak orang
kalau ternyata kalah) *ada saksi mata, awak pernah jadi korbannya* :P
Adalah adik
sepupuku, bertanya: “Siapa ini buk? Acem pernah dengar
namanya” katanya cuek sambil melihat bukuku.
“Dek, kuliahmu semester berapa?” Langsung kutanya balik.
“Empat.
Emangnya kenapa sih?”
“Gak tahu
siapa si Gie itu ? Pak Yul (dosen nyentrik sastra di kampus) gak pernah nyebut nama
Gie? Bla... bla.. blaa..
Dia manyun
dan membaca sekilas 'Catatan Seorang Demonstran' milik Soe
Hok Gie.
“Oh tenyata,
pecinta alam, ya buk?” tanyanya lagi
“Enggak cuma
itu loh~” *geram*
“si GIE itu anak muda yang berpendirian teguh dalam memegang prinsipnya dan
rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Dia juga penulis
produktif di beberapa media massa tersohor, pada zamannya.
*tarik
nafas*
"Dia Mahasiswa Sastra UI, juga salah satu pendiri Mapala UI. Sosok intelektual muda yang bebas dari godaan penjilat-penjilat kehidupan. Memang Gie mencintai aktifitas mendaki gunung dan meninggal pun di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.”
“Dan Dia mati muda
dengan momoriam nama yang disandangnya masih harum sampai sekarang.”
Si Adekku ber-Ohh.. dan mengatakan “kok bisa gitu ya, buk?
“Nahhh
itulah. Renungan yang perlu dipikirkan, ya!”
Seulas tentang
Gie:
Kenyataanya memang aku menggemari sosok Gie (terlebih, ekspetasi filimnya) dan
juga aku “tersentuh” dengan gaya pemikirannya yang tajam.
Meskipun aku masih
menilai Soe Hok Gie secara objektif saja. Aku tersentuh tentang kontribusinya.
Ternyata begitu
tangguh adanya pribadi yang dimiliki seorang pemuda cendikiawan itu. Dengan
latar belakang hidup, perjalanan hidup hingga akhir kehidupanya. Selalu dihiasi
pemikiran yang ligas, perjuangan dan kerja keras yang terkenang dalam buku
hariannya.
Ya, ya apapun yang terjadi dengan pribadi Gie, dia adalah Soe Hok
Gie. Beserta apapun yang menjadi pilihannya. Penting atau tidak. Berpengaruh
atau tidak.
Kan, seorang yang peduli dengan perjuangan berhak mengambil motivasi sebagaian tukar pemikiran bagi diri sendiri. Dan sebab yang telah dilakukan Gie, akhir kata saya
simpulkan: Biar Gie menjadi dirinya dengan segala kisahnya.
Sedang kita harus tetap
menjadi diri sendiri. Kita harus berusaha dan juga belajar untuk berusaha.
“Sekarang tugasmu, dek. Perbanyak membaca buku-buku juga menulis –apapun-” masih lanjutku untuknya.
Udah begitu
aja, ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar